Aku menulis ini diatas kereta, menjemput mimpi menuju Kediri. Dari Bengkulu tempat dimana aku kuliah selama 4 tahun 4 bulan, sudah kuputuskan memang. Tentang segala mimpi yang tumbuh dari benih semangat untuk menjadi bagian dari dunia. Ku seka peluh keringat, kuhantarkan badan menuju Kediri. Mencari modal untuk bertaruh terhadap semua mimpi yang kurang ajar ini.
Memilih kuliah cepat, bukan tanpa alasan. Untuk setiap waktu yang emas ini, amat sangat rugi jika dihabiskan disatu tempat saja. Kita butuh hijrah. Aku selalu yakin bahwa tidak ada orang besar yang tidak melakukan perjalan panjang.
13 jam perjalanan bukanlah waktu yang singkat, melihat-lihat pemandangan sawah dari balik kaca jendala yang terkena tipis air hujan cukup untuk menghibur diri. Melalui kereta dari stasiun pasar Senen Jakarta, aku sampai di Kediri dengan ditemani papa muda yang menanti kelahiran anak ketiganya dan seorang ibu dengan anak kecilnya. Ketiga orang ini menjadi teman seperjalanan terutama anak kecil bernama Rafa yang tidak pernah tidur itu.
Mimpi ini kutemukan dari cerita orang- orang hebat. Ya, semua nya karena buku. Ditambah lagi dari segala aktivitas selama kuliah yang sering melihat langsung kesenjangan, ketidakadilan dan semuanya terlihat jelas bukan dari puncak gunung-gunung melainkan desa-desa terpencil. Perjalanan jauh yang begitu melelahkan.
Mimpi itu menjadi besar dan meluap, menggetarkan wajan yang kepanasan karena air di dalamnya sudah merasa waktunya tiba. Menggelinding bak bola salju dari atas tebing dan aku tetap dibawahnya.
Untuk semua mimpi yang gila ini, sudah tentu perlu usaha yang gila pula. Sekuat tenaga, setegar keyakinan diri.
Aku sedikit pun tidak akan pernah takut.
Sedikit pun tidak. Karena dibalik mimpi ini aku bersama doa dan harapan disekelilingku.
"Akanku tantang dunia" dengan mata buta aku mengucapkannya latah. Menyiapkan diri lahir dan batin, memperbaiki segala hal yang amat sangat berantakan ini.
Menjadi manusia besar dengan kebesaran-Nya. Akulah Ayub Saputra dan pantaskah aku? Terlalu bertanya adalah cara menghentikan semuanya, lantas ku leburkan saja semua pertanyaan yang kalimat awalnya "bagaimana" bagaimana ini, bagaimana itu. Kubiarkan dia hilang bersama kabut di tebing gunung Merapi.
Terlalu mimpi.
Pilihan yang tidak dipilih banyak orang.
Aku tidak mau pulang tanpa membawa hasil. Namun sejauh apapun itu, jelas saja aku akan kembali di titik nol. Titik dimana aku melihat senyum dari setiap orang yang berdoa tanpa henti itu.
Ya, dunia ini luas sekali kawan.
Ya, aku tahu mimpi ini sungguh terlalu.
Dibawah langit dan matahari yang sama.
Lahirku mengenalkan diri.
Batinku mengenalkan Allah.
Luput lepas aku dipintu lawang yang sempit.
Bujur lalu melintang kupatahkan.
Habis semua, tidak ada yang bisa menghalangi semangat ini, semangat yang dicetuskan hati dan diri. Kuhabiskan bersama titik di akhir kalimat ini. (titik)
04 Februari 2017, Kampung Inggris (pare) sampai dengan selesai.
 |
Terlalu mimpi memang, tapi sunguh amat sangat terlalu kalau mimpi tidak terlalu. Itu baru mimpi |