Senyap pagi ternyata bohong, aku sudah menjemputmu dengan riak suara. Tapi siul burung begitu egois, volumenya nyaring malu kemudian pupus. Sinar pagi masih muda, belum berani nakal untuk beberapa manuver hilang timbul dibalik awan.
Dongkol rumput tua pecah ruah karena selimut embunya berganti kental cair lendir keong cokelat motif standar. Sementara firasat sama juga dirasakan akar yang membelit pagar tua tegak rubuh, bahu membahu paku berkarat berusaha untuk lekat diantara bubuk lapuk bila bambu. Padahal jelas sekali waktunya hanya seujung pertahanan lambung isi gorengan.
Mengerling mata keluarga petani sawah lewat antara senyum dan binggung. Jejaknya membekas diantara becekan hujan semalam, berbaris acak mengarah ujung cahaya bayang bukit. Tangan anaknya dari jauh keatas menyapa serius, isarat sapaan kabar kemudian berlari kecil sebelum sempat dibalas.
Beberapa rencana seperti pecahan batu bata baris berserak pecah abstrak, diam tanpa respon seperti besi tua yang berdamai dengan kondisi dingin malam. Siasat mencari kesimpulan sudah jelas layak sebaran gemburan tanah bekas kuburan kucing tepat dibelakang bangku kayu.
Sekarang sudah terlalu panas, aku bisa saja ngantuk dan melepasnya. Biasanya memang seperti ini, jika hal besar menunggu, tak sabar untuk terjadi. Tapi tidur sekarang sama saja memborbardir sekutu sendiri. Sekarang bukan lagi besok, kental sisa kopi sudah mengeras hampir menjadi kerak. Ohh iya pagi, maafkan untuk kalimat pembuka, hanya mencoba akrab dengan suasana canggung, efek lama tak bertemu. Jangan lupa kasih aku kekuatan super.
![]() |
Rumput yang cemburu |
0 comments:
Post a Comment