***
Kucetus
"kalian lucu"
"kalian salah kaprah"
***
Kematian adalah hal yang paling bahagia, itu adalah awal dari kehidupan selanjutnya, terlepas apapun misteri setelah kematian itu. Namun aku tidak akan pernah setuju dengan kebahagian mati muda menurut Soe Hoe Gie.
Sebelum roh meninggalkan jasad ini, aku ingin tetap ingin mengenang, apa dan bagaimana, aku dulu. Bukan perkara, dosa dan pahala, apalagi, surga dan neraka. Yang jelas pada detik-detik kematianku nanti, aku memohon untuk diberikan kesempatan agar surat ini dapat dibacakan oleh siapapaun entah itu istri, anak, orang tua dan sahabatku atau burung-burung yang bertengger di kerangka jendela itu nanti, atau bisa jadi, langit-langit dan semilir angin yang hilir mudik.
Kematian adalah kepastian, ia akan hadir beberapa menit lagi kedepan atau beberapa hari dan tahun mendatang. Ada yang mengakhiri sendiri kematian, ada pula yang tidak ingin mati, berharap abadi dan menjadi dewa. Tidak ada seorangpun didunia ini yang mampu menjelaskan secara pasti pasca kematian, terlepas dari perspektif lintas agama yang menggambarkannya.
***
Aku menghela nafas, ketika beberapa kalimat itu nanti dibaca dan tidak akan kupersilakan satu pun air mata jatuh.
"Fiuuhh"
***
Aku banyak bercerita ketus mengenai kehidupanku dimasa datang, mulai dari keluargaku nanti yang tidak mengikuti program KB, anak- anakku yang banyak, istriku sedang merapikan tanaman-tanaman di halaman rumah, gerombolan cucuku yang berlari di halaman belakang dengan lumpur dan hujan.
Aku juga sering ketus dengan suasana senggangku nanti; di beranda depan rumah, tingkat dua, berlapis kayu yang kokoh dengan view senja-jingga. Adapula, beberapa masyarakat desa mampir di rumahku dan bersanda gurau di selang waktu magrib dan isya'. Aku juga banyak cerita ketus mengenai perjalanan lintas negeri di masa muda and also my study abroad in Europe. Semua itu untuk saat ini ketus sekali, namun untuk waktu yang akan datang, siapa yang tahu. Begitu juga dengan Imron.
***
Imron dan aku waktu itu sempat hening beberapa saat ketika ku jawab pertanyaannya dengan pernyataan balik;
Imron: kenapa kita mesti mati?
Ku jawab dengan pertanyaan juga: kenapa kita mesti hidup?
Imron bingung dan aku senyum-slengean. Imron adalah diriku yang lain, dan memang, kami sering berdebat kecil.
***
Aku menulis surat ini sewaktu umurku dibawah 25 tahun. Dan mungkin saja, surat, ini akan dibacakan besok, atau beberapa detik kedepan, yang jelas, ini perlu dibuat sebagai arsip daring, sebagai media pembuka obrolan terakhir kita. Aku juga menulis surat ini bukan sebagai permintaan untuk mati segera, melainkan untuk sadar, bahwa kematian itu seru sekali, dan yang paling seru bahwa kita tidak pernah tahu, kapan dan sepeti apa, ketika hal itu menghampiri.
***
Ohh Dunia...
***
Pembaca menanya dan aku menjawab. Biarkan surat ini sebagai pengantar dari apa yang aku lakukan sebelum mati dan beberapa kisah ketika aku mulai berhenti akibat ruh segera berpamit meninggalkan badan.
***
Aku bercerita panjang lebar, malaikat maut ada dan mendengar, kulihat dia sedikit-sedikit tertawa.
***
![]() |
Aku dan Pulau Padar, NTT |