Dikala Gondrong Tiba

Gondrong adalah sebutan untuk seorang laki-laki berambut panjang, Itulah kenapa cewek tidak disebut Gondrong, karena mereka bukan laki laki dan laki laki bukan mereka, tapi mereka dan laki laki ditakdirkan untuk menyatu sehingga mampu menciptakan Gondrong junior, Coretan Payah edisi "Dikala Gondrong Tiba", akan mengulas sepenggal cerita dari sepanggul kisah yang terjadi selama Gondrong itu tiba.

Alasan Pecinta Alam ?

Tariklah nafas dari udara bersih itu. Kemudian biarkan sepatu tua keluar dari rak-nya. Kain segi tiga itu biarkan ada. Rutinitas akan kalah, kalahlah dengan jiwa. Nyaman akan jauh, dipecahkan dan terpelanting. Tentu ada kisah, dari perjalanan jauh melelahkan.

#SaveCawang | Sudah Dengar Tangisan Cawang hari ini ?

Payah, tangisan Cawang tak terdengar, jelas tangisan itu rintih. betul aku adalah orang yang payah, bagaimana tidak, seorang mahasisw...

Siul fales mengiringi pagi yang hampir saja terlewatkan, hari ini hampir saja habis di zona nyaman, dikasur yang tak terjemur entah berapa bulan. Kopi panas kuperintahkan untuk dibuat padahal hanya ada aku dan kucing waktu itu, astaga, kucing itu belum terlatih untuk segelas kopi, segelas kopi yang di dedikasikan untuk modal berpikir dan berandai-andai.

Friday, 3 November 2017

Jinjing Pekakas Lama

Sudah bercecer di pelarian kemarin, darah dan air mata membeludak, menguap berarak-arak.

Perkakas lama dengan aroma sepat karat, membesing, mengoyak pinggiran peranti.

Baju perang sudah dilipatan bawah, pedang sakti terbungkus rapi. Tameng emas di berak lalat.

Perkakas lama sudah berceceran di 23 sudut. Menunggu badai menyapunya satu persatu.

Sebagian terjinjing hanya karat dari bahelak waktu.  Mata mengerling, mencium pesing.

Perkakas lama dijinjing kembali.

Perkakas lama baru berarti 

Thursday, 19 October 2017

Lamunan dan Isi Dalam Kereta

Selain alternatif untuk mempermudah langkah, ternyata isi dalam kereta tidak hanya besi karat yang secara teknis bukan kapasitas saya untuk menjelaskannya.  Ruang kereta sama halnya ruang diskusi namun disini lebih menarik, kita dipertemukan antara sekat kursi yang penuh dengan narasumber dan topic loncat yang tidak dapat diprediksi pembahasan nya.

Pagi itu begitu dadakan, bahkan kopi dan bekal yang direncanakan "mamak" tidak hadir menemani lamunan perjalanan. Seperti ada tim penyelanggara, walaupun serba gelabakan akibat kesiangan, semua berjalan seperti adanya dengan aturan semesta yang mengatur penuh tanpa halangan.
Tumpukan gerbong bekas

Sekarang sudah hampir tengah hari, di dalam gerbong, di awal bulan pasca aktivitas nonton bareng rakyat Indonesia atas persoalan "sejarah tanda tanya" bangsa akibat dari beragam versi G30S/ dan sebisanya kita untuk tetap berpikir sehat dan mengambil pelajaran dari sejarah Tempoe doelo. Memang kebenaran adalah persoalan sudut pandang, begitu juga jalan hidup dan kehidupan maupun penghidupan. Rel kereta api nampak seragam dengan karat kehitam-hitaman. Gerbong hari itu tidak begitu padat, banyak kaki kaki yang menjarah tempat yang tidak terisi. Anak kecil nampaknya riang sekali entah mau pulang kerumahnya atau ingin pergi berlibur. Sedangkan mata mengerling dari nenek tua nampak sesekali memandang jauh keluar jendela. Beberapa kali sisi nenek membenarkan tasnya yang takut isinya dijarah teman sebelah dengan penampilan  "selonong boy" namun siapa yang tahu soal hati. Kita memang ditugaskan untuk menerka-nerka. Aku duduk disebelah nenek itu namun aku "selonong man" bukan boy yang sering dijadikan nama anjing tetanggaku.

Jendela dan earphone memang jadi pengganggu untuk mengawali obrolan, menentukan sikap dan memperkirakan siapa yang siap diajak bercengkrama adalah langkah awal, atau hanya  sekedar melayangkan senyum dan membaca isyarat matanya. Bagaimanapun juga mengobrol butuh lawan bicara, ya, sulit juga sih ketika memaksa orang yang tidak siap seperti ibu muda yang sedang berusaha menenangkan anak nya itu. Jika memang bukan waktunya memulai obrolan dengan yang lain, diri sendiri adalah hal tergampang untuk dijadikan lawan bicara yang asik. Lamunan diantara debu jendela mengajakku ke masa gelisah yang sudah tidak terhitung lagi.

Jendela kereta dan pertunjukannya


Segi empat itu sudah menangkap beberapa mata untuk masuk dalam perangkap nya. Jendela dalam perjalanan memang memiliki daya hisap, magis dan pertunjukan yang luar biasa. Memandang jauh keluar jendela, mengajak kita mengingat sesuatu apapun itu.  Ya, mungkin itu alasan si nenek yang tidak hadir dalam obrolan aku dan hatiku waktu itu. Ini adalah tulisan keduaku diatas kereta untuk menjemput mimpi yang macet di  perempatan jalan. keberangakatan pertama tidak membawaku kemanapun. Mimpi itu menjadi masuk kedalam mimpi lainnya. Namun apa jadinya hidup yang tidak pernah tidur dengan mimpi dan halusinasi nya.


Sebelum obrolan langsung dengan orang-orang, waktu itu, sudah banyak perdebatan sengit dengan diri sendiri yang moderator nya tidak tahu siapa. Saat kereta dan terowongan menyatu dalam lintasan rel tua, seketika pandangan jendela kelam bagai kehidupan ku beberapa bulan ini, selain tidur dan begadang, kurang-cukup itulah yang dapat aku lakukan. Dari jendela kereta juga aku melihat ada beberapa stasiun perhentian, beberapa penumpang mondar mandir ada yang turun ada yang naik. Ada yang sudah sampai tujuan, ada juga  yang ingin menuju tujuan itu. Kereta terutama isi dalam nya memang pelajaran bisu tentang kehidupan. Yang paling jelas didalam kereta ini, ada dua hal yang apabila terlewatkan akan rugi banyak, pertama duduk di dekat jendela dan kedua bercengkrama dengan orang baru entah siapapun itu.

Dari sekian banyak tumbuhan di luar jendela, yang kulihat mungkin hanya sawit dan ilalang yang mendominasi pikiranku. Dari sekian banyak tawaran petugas kereta api menawarkan makanan, tidak satupun aku terima, karena memang ada beberapa gorengan tawaran seorang prajurit yang sedang bahagia menceritakan hari jadi institusinya, 5 Oktober.  Kami menyatu walaupun saat itu dia begitu tegap dengan  seragamnya. Dengan sedikit gelak tawa ternyata itu undangan khusus bagi nenek sinis dan ibu yang kerepotan dengan anaknya merasuk dalam asupan pikiran dan hati atas nasehat dan pesan kehidupan. Kami begitu riuh, walau kelihatannya popok anak kecil itu sudah mengelembung dengan isi dan aroma-aroma ya. Astaga, ini kereta apa tempat kampus-kampus yang besar itu. Perjalanan yang begitu megah, seandainya setiap penumpang mempunyai hak bicara untuk ku ambil sari patinya. 12 jam perjalanan Lubuklinggau menuju Palembang tidak semonoton perkuliahan yang hanya 3 SKS itu.

Distasiun akhir, kurasa tidak berlebihan ketika aku menyamakan kehidupan dengan kereta ini. Kereta memiliki jalur nya sendiri untuk menghantarkan ribuan penumpangnya. Celakanya dalam berjalan adalah perjalanan tanpa tujuan atau untuk mereka yang menganggap itu tujuan padahal hanyalah pembuangan waktu yang tidak pada tempatnya. Kita juga hidup bagai isi dalam kereta ini, semua bentuk wajah dan pikiran dengan caranya masing-masing. Celakanya dalam kehidupan kita menjadi penumpang yang merasa sendirian, sendiri benar, sendri tahu. Sendirian meringkuk dalam kesedihan. Bukankah sendirian di dalam kereta, tidak akan membawa kita kemana-mana.


Tulisan ini dibuat dengan atau tanpa rokok dan kopi menggunankan hape yang layarnya mermotif retak 3D dibantu dengan WiFi teman.

Tuesday, 21 March 2017

Obrolan Pura-Pura di Makam Tan Malaka


21 Februari 1949, pasca keluar dari tahanan dan mendirikan partai Murba. Aku tidak tahu bagaimana keadaan langit dan angin di kaki gunung Wilis waktu itu. Bagaimana tidak, seorang pejuang kemerdekaan Indonesia yang selama 51 tahun hidupnya menjelajahi kurang lebih 21 tempat dan 11 negera dengan kondisi sakit-sakitan serta pengawasan ketat agen Interpol. Menjelajah mulai dari Belanda, Jerman, Inggris, Moskow, Filipina, Burma, Beijing, Thailand, kembali lagi ke Indonesia untuk bergrilya di Banten, Jakarta, Surabaya, Purwokerto. Semua perjuangan dan pengorbanan itu dilalui demi satu hal : Kemerdekaan Indonesia. Namun siapa sangka dikaki gunung Wilis ini  menjadi saksi bisu atas kematian Tan Malaka. Menjadi saksi betapa kejamnya Dunia.

 Dibunuh orangnya sendiri tanpa proses peradilan. Jika  melihat perbandingan dari perjalanan dengan  23 nama palsu, Tan Malaka yang telah menjelajahi dua benua dengan total perjalanan sepanjang 89 ribu Kilometer,  dua kali jarak yang ditempuh Che Guevara di Amerika Latin. Sejauh perjalanan itu tidak ada yang mampu membuat Tan Malaka terbunuh, melainkan hanya dihukum penjara dan hidup dalam penyamaran. Namun 21 Februari 1949 berkata lain, di tanah tumpah darah ini Tan Malaka terbunuh.

Menurut Jamaludin Tamim, 1965 rekan seperjuangan Tan, atas kematian Tan Malaka Kolonel Sungkono, Kepala Divisi 1 Brawijaya menjadi orang yang bertanggung jawab atas penangkapan dan kematian tersebut. (Tamim, 1965).

Lebih lengkap penjelasan dari riset yang dilakukan sejarawan Belanda Harry A Poeze  menyatakan bahwa yang bertanggung jawab atas kematian Tan Malaka yaitu perintah Letkol Soerachmad yang didasari surat perintah Panglima Daerah Militer Brawijaya Soengkono dan Komandan Brigade-nya Letkol Soerahmat. 

Memang tidak ada yang kebetulan, berkesempatan hadir dan melihat langsung dimana orang hebat pejuang bangsa ini beristirahat jasadnya. Dari sini nampak betul sebenarnya yang mati hanyalah jasad, semangatnya sudah menular kemana-mana untuk menginspirasi para manusia untuk hidup yang sehidup-sehidupnya. Bergerak dari desa ke desa, membangun kekuatan dari bawah.

Di Desa Selopanggung, Kediri. Nampak makam sedehana tertancap miniatur Sangsaka Merah Putih, makam Tan berada diantara makam-makam masyarakat biasa yang tidak teratur, tidak beratap dan tanpa fasilitas pemakaman yg mewah. Dari sini nampak begitu indah, sejuk dan mengisyaratkan pesan bahwa sampai matipun engkau berada dan hadir di tengah-tengah masyarakat biasa tanpa kelas.

Kekecewaan ku nampak tergilas, atas pertanyaan kenapa tidak di makam pahlawan saja. Lamunan ku tidak lagi bertanya apakah disini tempat terakhirmu sebenarnya.

Tentu aku memiliki keterbatasan untuk berkomunikasi langsung denganmu. Dimensi beda, namun kuharap dapat menyerap semangatmu.  Obrolan ini bisa saja pura-pura, yang jelas aku menghabiskan waktu lebih lama di makammu bercerita dan mengobrol tentang semuanya. Pembicaraan itu hanya kita berdua yang tahu. Bahkan aku tidak tahu apakah engkau bersedia menyimak mimpi itu yang ku ceritakan panjang lebar sendirian.

Suaramu memang lebih keras dari sini, auranya berasa nyata berisi pesan semangat untuk berjuang semaksimal mungkin walaupun balasannya begitu pahit dirasakan. Semangat yang seperti inilah yang harusnya mengalir ke darah setiap pemuda, namun banyak pemuda yang sudah terkena penyakit dari dongeng buatan orde baru. Mereka melihat kiri itu adalah hantu bahkan haram untuk  dikaji. Kalau saja kau masih hidup Datuk, mungkin enak rasanya kita sesuaikan meja lengkap dengan cemilan dan minuman hangatnya, membincangkan orang-orang yang sibuk  menpersoalkan pandangan mana yang benar. Sejarah sudah begitu banyak versinya, kebenaran sudah bukan lagi tentang sudut pandang, melainkan kepercayaan umum yang dianggap  khalayak benar. 

Terimakasih sudah mempersilakan aku bertamu,  dan mengenalmu, rasanya sangat rugi bagi pemuda yang tidak mengenal semangat mu. Mohon maaf kalau sedikit tidak sopan pada kesan pertama, karena memang aku merasa seolah-olah kita sudah kenal lama. 


Makam Datuk Ibrahim Tan Malaka


"Lindungi bendera itu dengan bangkaimu, nyawamu, dan tulangmu, Itulah tempat yang selayaknya bagimu, seorang putera Indonesia tempat darahmu tertumpa" (Tan Malaka. Masa Aksi, 1929).

Dari kutipan diataslah W.R. Supratman mengakui bahwa dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya, ia terinspirasi dari  buku Tan Malaka Masa Aksi, sehingga lahirlah lirik yang tidak asing lagi kita dengarkan yaitu  "Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku.

Wednesday, 1 March 2017

Skenario

Untuk zaman ini.
Apakah setiap duka sudah ada skenarionya.
Kalau  memang seperti itu, kenapa sejenjang ini.
Sampai mati, begini saja. 

Mati !
Pasrah ! anggap semuanya takdir.
Inilah takdir.
Takdir ! dari skenario Tuhan.
Jangan banyak berbuat.
Cukup dengan doa.
 Dengan imbalan kehidupan akhirat akan ada dan bahagia.

Jangan pernah sadar atas skenario lain.
Cukup Tuhan saja.
Semuanya di nina bobokan dengan keadaan yang tidak patut dipertanyakan.
Yang sebenar-benarnya mesti dilihat.
Yang Sesadar-sadarnya harus sadar.
Sudah mati.
Sudah mati atas nama takdir !

Mereka itu begitu sedikit.
Mereka hanya punya sistem dan kantung besarnya.
Tapi manusia lebih mengeluh.
Atas angggapan ini sudah takdirnya.
Inilah skenario Tuhan.

Ini bukan tentang Ke-Tuhanan.
Namun beberapa orang telah menjadi tuhan dan melakukan semaunya.
Perang, Pikiran dan semuanya telah masuk dalam skenario.
Ingatlah, untuk tuhan yang terbuat dari jerih payah ketertindasan.
Skenario mu akan hancur.

Sekarang, tinggal menunggu datangnya dua tamu agung.
Atas nama "kesadaran dan tindakan"
Yang meledak serentak disetiap lini.
Akibat kesenjangan atas skenario-mu.


Mereka akan hancur

Wednesday, 8 February 2017

Terlalu Mimpi

Aku menulis ini diatas kereta, menjemput mimpi menuju Kediri. Dari Bengkulu tempat dimana aku kuliah selama 4 tahun 4 bulan, sudah kuputuskan memang. Tentang segala mimpi yang tumbuh dari benih semangat untuk menjadi bagian dari dunia. Ku seka peluh keringat, kuhantarkan badan menuju Kediri. Mencari modal untuk bertaruh terhadap semua mimpi yang kurang ajar ini. 

Memilih kuliah cepat, bukan tanpa alasan. Untuk setiap waktu yang emas ini, amat sangat rugi jika dihabiskan disatu tempat saja. Kita butuh hijrah. Aku selalu yakin bahwa tidak ada orang besar yang tidak melakukan perjalan panjang.

13 jam perjalanan bukanlah waktu yang singkat, melihat-lihat pemandangan sawah dari balik kaca jendala yang terkena tipis air hujan cukup untuk menghibur diri. Melalui kereta dari stasiun pasar Senen Jakarta, aku sampai di Kediri dengan ditemani papa muda yang menanti kelahiran anak ketiganya dan seorang ibu dengan anak kecilnya. Ketiga orang ini menjadi teman seperjalanan terutama anak kecil bernama Rafa yang tidak pernah tidur itu.

Mimpi ini kutemukan dari cerita orang- orang hebat. Ya, semua nya karena buku. Ditambah lagi dari segala aktivitas selama kuliah yang sering melihat langsung kesenjangan, ketidakadilan dan semuanya terlihat jelas  bukan dari puncak gunung-gunung melainkan desa-desa terpencil. Perjalanan jauh yang begitu melelahkan.
Mimpi itu menjadi besar dan meluap, menggetarkan wajan yang kepanasan karena air di dalamnya sudah merasa waktunya tiba. Menggelinding bak bola salju dari atas tebing dan aku tetap dibawahnya.

Untuk semua mimpi yang gila ini, sudah tentu perlu usaha yang gila pula. Sekuat tenaga, setegar keyakinan diri.

Aku sedikit pun tidak akan pernah takut.
Sedikit pun tidak. Karena dibalik mimpi ini aku bersama doa dan harapan disekelilingku.

"Akanku tantang dunia" dengan mata buta aku mengucapkannya latah. Menyiapkan diri lahir dan batin, memperbaiki segala hal yang amat sangat berantakan ini.

Menjadi manusia besar dengan kebesaran-Nya. Akulah Ayub Saputra dan pantaskah aku? Terlalu bertanya adalah cara menghentikan semuanya, lantas ku leburkan saja semua pertanyaan yang kalimat awalnya "bagaimana" bagaimana ini, bagaimana itu. Kubiarkan dia hilang bersama kabut di tebing gunung Merapi.

Terlalu mimpi.
Pilihan yang tidak dipilih banyak orang.
Aku tidak mau pulang tanpa membawa hasil. Namun sejauh apapun itu, jelas saja aku akan kembali di titik nol. Titik dimana aku melihat senyum dari setiap orang yang berdoa tanpa henti itu.

Ya, dunia ini luas sekali kawan.
Ya, aku tahu mimpi ini sungguh terlalu.

Dibawah langit dan matahari yang sama.
Lahirku mengenalkan diri.
Batinku mengenalkan Allah.
Luput lepas aku dipintu lawang yang sempit.
Bujur lalu melintang kupatahkan.

Habis semua, tidak ada yang bisa menghalangi semangat ini, semangat yang dicetuskan hati dan diri. Kuhabiskan bersama titik di akhir kalimat ini. (titik)



                                           04 Februari 2017, Kampung Inggris (pare) sampai dengan selesai.

Terlalu mimpi memang, tapi sunguh amat sangat terlalu kalau mimpi tidak terlalu. Itu baru mimpi
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com