Selain alternatif untuk mempermudah langkah, ternyata isi dalam kereta tidak hanya besi karat yang secara teknis bukan kapasitas saya untuk menjelaskannya. Ruang kereta sama halnya ruang diskusi namun disini lebih menarik, kita dipertemukan antara sekat kursi yang penuh dengan narasumber dan topic loncat yang tidak dapat diprediksi pembahasan nya.
Pagi itu begitu dadakan, bahkan kopi dan bekal yang direncanakan "mamak" tidak hadir menemani lamunan perjalanan. Seperti ada tim penyelanggara, walaupun serba gelabakan akibat kesiangan, semua berjalan seperti adanya dengan aturan semesta yang mengatur penuh tanpa halangan.
 |
Tumpukan gerbong bekas |
Sekarang sudah hampir tengah hari, di dalam gerbong, di awal bulan pasca aktivitas nonton bareng rakyat Indonesia atas persoalan "sejarah tanda tanya" bangsa akibat dari beragam versi G30S/ dan sebisanya kita untuk tetap berpikir sehat dan mengambil pelajaran dari sejarah Tempoe doelo. Memang kebenaran adalah persoalan sudut pandang, begitu juga jalan hidup dan kehidupan maupun penghidupan. Rel kereta api nampak seragam dengan karat kehitam-hitaman. Gerbong hari itu tidak begitu padat, banyak kaki kaki yang menjarah tempat yang tidak terisi. Anak kecil nampaknya riang sekali entah mau pulang kerumahnya atau ingin pergi berlibur. Sedangkan mata mengerling dari nenek tua nampak sesekali memandang jauh keluar jendela. Beberapa kali sisi nenek membenarkan tasnya yang takut isinya dijarah teman sebelah dengan penampilan "selonong boy" namun siapa yang tahu soal hati. Kita memang ditugaskan untuk menerka-nerka. Aku duduk disebelah nenek itu namun aku "selonong man" bukan boy yang sering dijadikan nama anjing tetanggaku.
Jendela dan earphone memang jadi pengganggu untuk mengawali obrolan, menentukan sikap dan memperkirakan siapa yang siap diajak bercengkrama adalah langkah awal, atau hanya sekedar melayangkan senyum dan membaca isyarat matanya. Bagaimanapun juga mengobrol butuh lawan bicara, ya, sulit juga sih ketika memaksa orang yang tidak siap seperti ibu muda yang sedang berusaha menenangkan anak nya itu. Jika memang bukan waktunya memulai obrolan dengan yang lain, diri sendiri adalah hal tergampang untuk dijadikan lawan bicara yang asik. Lamunan diantara debu jendela mengajakku ke masa gelisah yang sudah tidak terhitung lagi.
 |
Jendela kereta dan pertunjukannya |
Segi empat itu sudah menangkap beberapa mata untuk masuk dalam perangkap nya. Jendela dalam perjalanan memang memiliki daya hisap, magis dan pertunjukan yang luar biasa. Memandang jauh keluar jendela, mengajak kita mengingat sesuatu apapun itu. Ya, mungkin itu alasan si nenek yang tidak hadir dalam obrolan aku dan hatiku waktu itu. Ini adalah tulisan keduaku diatas kereta untuk menjemput mimpi yang macet di perempatan jalan. keberangakatan pertama tidak membawaku kemanapun. Mimpi itu menjadi masuk kedalam mimpi lainnya. Namun apa jadinya hidup yang tidak pernah tidur dengan mimpi dan halusinasi nya.
Sebelum obrolan langsung dengan orang-orang, waktu itu, sudah banyak perdebatan sengit dengan diri sendiri yang moderator nya tidak tahu siapa. Saat kereta dan terowongan menyatu dalam lintasan rel tua, seketika pandangan jendela kelam bagai kehidupan ku beberapa bulan ini, selain tidur dan begadang, kurang-cukup itulah yang dapat aku lakukan. Dari jendela kereta juga aku melihat ada beberapa stasiun perhentian, beberapa penumpang mondar mandir ada yang turun ada yang naik. Ada yang sudah sampai tujuan, ada juga yang ingin menuju tujuan itu. Kereta terutama isi dalam nya memang pelajaran bisu tentang kehidupan. Yang paling jelas didalam kereta ini, ada dua hal yang apabila terlewatkan akan rugi banyak, pertama duduk di dekat jendela dan kedua bercengkrama dengan orang baru entah siapapun itu.
Dari sekian banyak tumbuhan di luar jendela, yang kulihat mungkin hanya sawit dan ilalang yang mendominasi pikiranku. Dari sekian banyak tawaran petugas kereta api menawarkan makanan, tidak satupun aku terima, karena memang ada beberapa gorengan tawaran seorang prajurit yang sedang bahagia menceritakan hari jadi institusinya, 5 Oktober. Kami menyatu walaupun saat itu dia begitu tegap dengan seragamnya. Dengan sedikit gelak tawa ternyata itu undangan khusus bagi nenek sinis dan ibu yang kerepotan dengan anaknya merasuk dalam asupan pikiran dan hati atas nasehat dan pesan kehidupan. Kami begitu riuh, walau kelihatannya popok anak kecil itu sudah mengelembung dengan isi dan aroma-aroma ya. Astaga, ini kereta apa tempat kampus-kampus yang besar itu. Perjalanan yang begitu megah, seandainya setiap penumpang mempunyai hak bicara untuk ku ambil sari patinya. 12 jam perjalanan Lubuklinggau menuju Palembang tidak semonoton perkuliahan yang hanya 3 SKS itu.
Distasiun akhir, kurasa tidak berlebihan ketika aku menyamakan kehidupan dengan kereta ini. Kereta memiliki jalur nya sendiri untuk menghantarkan ribuan penumpangnya. Celakanya dalam berjalan adalah perjalanan tanpa tujuan atau untuk mereka yang menganggap itu tujuan padahal hanyalah pembuangan waktu yang tidak pada tempatnya. Kita juga hidup bagai isi dalam kereta ini, semua bentuk wajah dan pikiran dengan caranya masing-masing. Celakanya dalam kehidupan kita menjadi penumpang yang merasa sendirian, sendiri benar, sendri tahu. Sendirian meringkuk dalam kesedihan. Bukankah sendirian di dalam kereta, tidak akan membawa kita kemana-mana.
Tulisan ini dibuat dengan atau tanpa rokok dan kopi menggunankan hape yang layarnya mermotif retak 3D dibantu dengan WiFi teman.