Tuesday, 21 March 2017

Obrolan Pura-Pura di Makam Tan Malaka


21 Februari 1949, pasca keluar dari tahanan dan mendirikan partai Murba. Aku tidak tahu bagaimana keadaan langit dan angin di kaki gunung Wilis waktu itu. Bagaimana tidak, seorang pejuang kemerdekaan Indonesia yang selama 51 tahun hidupnya menjelajahi kurang lebih 21 tempat dan 11 negera dengan kondisi sakit-sakitan serta pengawasan ketat agen Interpol. Menjelajah mulai dari Belanda, Jerman, Inggris, Moskow, Filipina, Burma, Beijing, Thailand, kembali lagi ke Indonesia untuk bergrilya di Banten, Jakarta, Surabaya, Purwokerto. Semua perjuangan dan pengorbanan itu dilalui demi satu hal : Kemerdekaan Indonesia. Namun siapa sangka dikaki gunung Wilis ini  menjadi saksi bisu atas kematian Tan Malaka. Menjadi saksi betapa kejamnya Dunia.

 Dibunuh orangnya sendiri tanpa proses peradilan. Jika  melihat perbandingan dari perjalanan dengan  23 nama palsu, Tan Malaka yang telah menjelajahi dua benua dengan total perjalanan sepanjang 89 ribu Kilometer,  dua kali jarak yang ditempuh Che Guevara di Amerika Latin. Sejauh perjalanan itu tidak ada yang mampu membuat Tan Malaka terbunuh, melainkan hanya dihukum penjara dan hidup dalam penyamaran. Namun 21 Februari 1949 berkata lain, di tanah tumpah darah ini Tan Malaka terbunuh.

Menurut Jamaludin Tamim, 1965 rekan seperjuangan Tan, atas kematian Tan Malaka Kolonel Sungkono, Kepala Divisi 1 Brawijaya menjadi orang yang bertanggung jawab atas penangkapan dan kematian tersebut. (Tamim, 1965).

Lebih lengkap penjelasan dari riset yang dilakukan sejarawan Belanda Harry A Poeze  menyatakan bahwa yang bertanggung jawab atas kematian Tan Malaka yaitu perintah Letkol Soerachmad yang didasari surat perintah Panglima Daerah Militer Brawijaya Soengkono dan Komandan Brigade-nya Letkol Soerahmat. 

Memang tidak ada yang kebetulan, berkesempatan hadir dan melihat langsung dimana orang hebat pejuang bangsa ini beristirahat jasadnya. Dari sini nampak betul sebenarnya yang mati hanyalah jasad, semangatnya sudah menular kemana-mana untuk menginspirasi para manusia untuk hidup yang sehidup-sehidupnya. Bergerak dari desa ke desa, membangun kekuatan dari bawah.

Di Desa Selopanggung, Kediri. Nampak makam sedehana tertancap miniatur Sangsaka Merah Putih, makam Tan berada diantara makam-makam masyarakat biasa yang tidak teratur, tidak beratap dan tanpa fasilitas pemakaman yg mewah. Dari sini nampak begitu indah, sejuk dan mengisyaratkan pesan bahwa sampai matipun engkau berada dan hadir di tengah-tengah masyarakat biasa tanpa kelas.

Kekecewaan ku nampak tergilas, atas pertanyaan kenapa tidak di makam pahlawan saja. Lamunan ku tidak lagi bertanya apakah disini tempat terakhirmu sebenarnya.

Tentu aku memiliki keterbatasan untuk berkomunikasi langsung denganmu. Dimensi beda, namun kuharap dapat menyerap semangatmu.  Obrolan ini bisa saja pura-pura, yang jelas aku menghabiskan waktu lebih lama di makammu bercerita dan mengobrol tentang semuanya. Pembicaraan itu hanya kita berdua yang tahu. Bahkan aku tidak tahu apakah engkau bersedia menyimak mimpi itu yang ku ceritakan panjang lebar sendirian.

Suaramu memang lebih keras dari sini, auranya berasa nyata berisi pesan semangat untuk berjuang semaksimal mungkin walaupun balasannya begitu pahit dirasakan. Semangat yang seperti inilah yang harusnya mengalir ke darah setiap pemuda, namun banyak pemuda yang sudah terkena penyakit dari dongeng buatan orde baru. Mereka melihat kiri itu adalah hantu bahkan haram untuk  dikaji. Kalau saja kau masih hidup Datuk, mungkin enak rasanya kita sesuaikan meja lengkap dengan cemilan dan minuman hangatnya, membincangkan orang-orang yang sibuk  menpersoalkan pandangan mana yang benar. Sejarah sudah begitu banyak versinya, kebenaran sudah bukan lagi tentang sudut pandang, melainkan kepercayaan umum yang dianggap  khalayak benar. 

Terimakasih sudah mempersilakan aku bertamu,  dan mengenalmu, rasanya sangat rugi bagi pemuda yang tidak mengenal semangat mu. Mohon maaf kalau sedikit tidak sopan pada kesan pertama, karena memang aku merasa seolah-olah kita sudah kenal lama. 


Makam Datuk Ibrahim Tan Malaka


"Lindungi bendera itu dengan bangkaimu, nyawamu, dan tulangmu, Itulah tempat yang selayaknya bagimu, seorang putera Indonesia tempat darahmu tertumpa" (Tan Malaka. Masa Aksi, 1929).

Dari kutipan diataslah W.R. Supratman mengakui bahwa dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya, ia terinspirasi dari  buku Tan Malaka Masa Aksi, sehingga lahirlah lirik yang tidak asing lagi kita dengarkan yaitu  "Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku.

0 comments:

Post a Comment

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com