Mereka, Bangsa Gondrong, tidak melihat siapa yang bicara melainkan apa yang ia bicarakan. Hal ini yang membuat Bangsa Gondrong tetap asik mengobrol dengan siapapun orangnya dan memandang semua orang ada pembelajarannya atau belajar dari semua orang. Sebagai contoh; ketimbang menghardik pelacur, ia beranggapan, pelacur juga berkontribusi untuk membangun negeri, tanpa mereka akan ada banyak pemerkosaan di sudut-sudut kota dan dibawah semak-semak jembatan. Abang-abang jual es cendol juga memiliki peranan yang sama dengan para kepala daerah untuk membangun bangsa, hanya fungsinya saja yang berbeda. Ketimbang melihat status sosialnya, Bangsa Gondrong sadar bahwa; tanpa abang cendol dipinggir jalan, tingkat kecelakaan lalu lintas akan berpengaruh akibat pengendara yang dehidrasi dan para pecinta minuman tradisional akan beralih meminum minuman berpengawet atau berbahan kimia tinggi dibeli di Indomaret atau Alfamart yang jarang kasih kembalian uang receh 100 200.
Jauh lebih dalam mereka, Bangsa Gondrong, mencoba untuk menyerap makna obrolan yang kebanyakan orang-orang sibuk untuk mengkafirkan dan mengambil hak preogratif Tuhan; masuk surga dan neraka. Ini yang membuat, Bangsa Gondrong memiliki poin lebih ketimbang orang rambut-rambut klimis, berkemeja dan berkutat di dalam ruangan (hanya contoh, yang terkadang, sering dipakai oleh para orang tua sebagai mahluk beradab).
Kemampuan lain dari bangsa gondrong yang mengedepankan dialektika dari lintas perspektif untuk menilai persoalan, merupakan proses yang sangat penting dari komplektifitas kehidupan. Inilah Bangsa Gondrong, ketimbang mengedepankan stigma buruk yang berkembang dikalangan masyarakat banyak, ia lebih memilih rokokan dan selow naik gunung kemudian jongkok'an didepan tenda sambil buat teh.
Bangsa Gondrong yang lahir dari ideologi Gondrongisme, percaya bahwa semua terjadi akibat ada hal lain pula yang terjadi, kait mengait menjadi sistem yang harus menghargai dan diselesaikan satu sama lain atas nama keselarasan cinta kasih.
Pemimpin dari Bangsa Gondrong yang, nantinya, menjadi pimpinan baik secara kelembagaan pemerintah atau tidak, merupakan orang-orang yang sudah memahami sudut pandang kelas bawah dan tidak buta terhadap prosesi-prosesi kelas atas. Dari pendapat ini, saya akan mengajak pembaca semua melihat apa yang terjadi disekitar kita. Bangsa Gondrong, coba lihat betapa santainya mereka ngobrol di warung kopi sederhana, namun, disisi lain mereka siap presentasi di depan siapapun termasuk Presiden dalam menyampaikan pendapat dan saran. Tidak bisa dipungkiri juga bahwa, dikalangan Bangsa Gondrong, ada banyak yang sekedar ikut-ikutan. Ada yang tidak mengerti kegondrongannya, ada banyak. Ada juga yang lost control dan kriminal recehan, tapi kriminal tidak mengenal rambut.
Lingkungan Bangsa Gondrong bisa dimana saja, di hutan mereka bisa, di kota mereka jaya, di sana dan sini tergantung sedang diposisi mana ia saat itu. Saya, lagi-lagi, mengajak semua pembaca untuk mengedepankan cinta kasih dalam memandang sesorang dan mengajak para Bangsa Gondrong untuk melihat poin lebih dari posisi mereka ketimbang hanyut dalam pandangan buruk masyarakat mengenai bangsanya. Menjadi gondrong bukan alasan untuk tidak menjadi apa-apa, pernah gondrong bukan menjadi alasan untuk tidak terlibat dalam segala hal. Cepat ambil peran di manapun amanah itu diberi padamu, ini saatnya pembuktian bahwa kita adalah generasi penerus. Saya tidak bisa membayangkan, jika nanti, Bangsa Gondrong terus-terusan menjadi penonton saja atas kehidupan yang semakin seru ini, kehidupan yang dipimpin oleh kader-kader bangsa kaku.
Gondrongisme bukan sekedar tetap menjadi gondrong. Jauh didasar hati, tidak ada yang ingin kita lakukan kecuali; cinta kasih untuk menjalankan hidup. Itulah Gondrongisme. Silakan pilih jika kau ingin tetap gondrong, itu baik. Pun jika kau memilih untuk tidak lagi berambut gondrong, itu juga baik, asalkan ada sedikit Gondrongisme dihatimu. Karena kau telah dibentuk dalam masa-masa gondrongmu, selamat untuk berbangga.
Bangsa Gondrong adalah orang-orang yang lahir dengan kenikmatan menjalankan hidup, baik suka maupun duka. Lihatlah Bangsa Kami, tidak ada yang mati dengan sia-sia.
Penulis sedang berada di Lubuklinggau, sebuah Kota kecil tempat kelahiran, yang memiliki perpustakaan bagus tapi sepi.