Payah, tangisan Cawang tak terdengar, jelas tangisan itu
rintih. betul aku adalah orang yang payah, bagaimana tidak, seorang mahasiswa
yang katanya lahir di Sumatera Selatan, Lubuklinggau, Musi Rawas, Musi Rawas
Utara tidak mengetahui jeritan tangis ini. Mungkin tau, lantas apa?
Cawang, lebih tepatnya Dusun Cawang Gumilir, Desa Bumi
Makmur, Kecamatan Muara Lakitan Kabupaten Musi Rawas, harusnya ada suara
mahasiswa agar lebih lantang dan kuat katanya. 344 Kepala keluarga
yang didalamnya terdapat 151 Petani tergusur dan digusur akibat Konflik Agraria dengan perusahaan milik Marubeni
Corp Jepang, Pt Musi Hutan Persada (Pt. MHP).
Sore, malam, pagi, begitu
seterusnya aku diam saja dengan alasan tugas akhir yang masih menjadi tanggung
jawab. Orang yang payah ini kuliah di Provinsi Bengkulu itu berbatasan dengan Provinsi Sumatera
Selatan. Akan tetapi Jauh dari Cawang 'katanya seraya menurunkan cangkir kopi
panas yang barusan ia minum. Sopir travel yang hampir dua kali pulang pergi
melewati Provinsi Bengkulu dengan Provinsi Sumatera Selatan, Kota Lubuklinggau,
Kabupaten Musi Rawas, Kabupaten Musi rawas Utara bersiul santai menanggapi
kejauhan itu. entah sejauh apa dari tempatmu.
Kicau suaranya, sering terdengar di tanah orang, tapi ditanah kelahirannya sendiri, diam
dan lempam. Kerupuk tak berwadah, itulah istilah lainnya. Apa memang para mahasiswa yang kuliah jauh hanya
untuk melupakan daerah asal ? atau
memang kita Mahasiswa yang enggan berpikir dan bergerak atas nama keadilan, atas
nama daerah. Tugas dan kewajiban kampus itu dulu deh, jangan sok hebat ? realistis
saja, orang tua kita butuh kita tamat, bukan
jadi pahlawan kesiangan pembela rakyat. Mari kita rayakan kepayahan
ini, aku memang Payahsiswa bukan
Mahasiswa.
Jika penilaianmu antara Sok Hebat dan Sok Diam. Lebih asik
yang mana, tapi payah, sulit membicarakan ini, rakyat juga tetap hidup, ada
atau tidaknya mahasiswa rantau itu, setidaknya ada nilai menjadi sok hebat ketimbang
bersiul, merokok, pacaran, bangun kesiangan
menjadi pendiam dan bungkam.
Sejak juli 2015, 120 Hektar kebun karet dan lahan pangan
serta 188 unit rumah digusur atas nama Konservasi. Sekarang sebagian dari mereka tinggal di Balai
Desa dengan kondisi seadanya. Surat edaran yang merujuk pada penghentian pengusuran
pada 14 Juli 2014 ditanda tangani Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor S.317/MenLHK-PSKL/2015 tak
ubah seperti surat cinta masa sekolah dasar ku dulu, atau sekedar ceremonial
atas nama kehebatan pelayan masyarakat.
Aparat banyak disana, menjadi pahlawan
kesiangan sama saja bunuh diri. Hei Payah, duduk ditindas atau bangkit melawan itu semboyan
siapa, semboyan perlawanan atau nyanyian di jalanan yang mulai hilang. Lihatlah
bagaiamana Pemindaan paksa (force eviction) mengambil alih lahan produktif
masyarakat, astaga, itu lahan produktif bukan tidak terpakai. Disana ada kehidupan
dan penghidupan masyarakat. Apakah ini namanya mengedepankan bisnis ketimbang
hak asasi manusia.
Kepada yang hormat, Pemerintah. Pelanggaran Ham
ini tak patut direstui, memang memihak masyarakat tidak ada untungnya kecuali
masa kampanye. Jangan kau suguhkan pembodohan atas nama konservasi sedangkan dibaliknya perluasan lahan perkebunan perusahaan
yang mengorbankan rakyat yang hanya untuk hidup.
Semoga kepayahan ini dibaca dan terdengar oleh orang yang
payah sama sepertiku. Titip salam mahasiswa dan mahasiswi hebat diluar sana,
yang memiliki kampus ternama, terbang kemana-mana, menguasai beribu bahasa, hidup mewah, suaranya ada di tempat lain, tapi
kebingungan di tanah sendiri. Hidup Payahsiswa !
"Jika Anda bergetar dengan geram pada setiap melihat ketidakadilan, maka Anda adalah kawan saya"- Ernesto Che Guevara.
![]() |
Photo pengusuran kebun karet masyarakat yang diambil di laman mongabay.com |
![]() | ||||
photo pengusuran yang diambil melalui laman http://walhi-sumsel.blogspot.co.id |
Greatt
ReplyDeleteWow...
ReplyDeletesaling terhunuskah pedang diantara kita? Hanya Beliau yg tahu... :D
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAmanda : masih perlu belajar samo kau nda, kasihlah komentarnya biar tambah bagus tulisannya
ReplyDeleteRejak :hahahaha hanya beliuau yg mengerti jak. Tapi tak mungkin pedang yg ditempa bersamaan saling menghunus. Karena fungsi pedang tetaplah sama.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteSemoga sisi pedang itu berpunggung sama kirikanan, berhulu satu menghujam bumi agar sang mata tak melukai tanah dan tetap memangkas sang waktu demi khalayak bersenda gurau...
ReplyDeleteRejak : bersanda gurau, tak akan berubah jak, mungkin sekarang sudah banyak menggunakan media. Hahahaha
ReplyDeleteBagaimana pun pedangnya, tapi aku tahu semangat sebelum pedang itu.